Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) memang merupakan
momok bagi Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Muhammad Jusuf Kalla
(MJK), karena dengan adanya keputusan untuk menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM)
akan melahirkan permasalahan yang komplek bagi semua bidang. Dan hal ini tidak
bisa dihindari, berbagai bentuk penolakan timbul dengan berbagai cara. Mulai
dari mahasiswa dengan budaya demonstrasinya, masyarakat yang menunjukkan
caranya sendiri, bahkan aksi mogok makan yang dilakukan oleh suatu anggota
Dewan saat sidang paripurna dalam keadaan kebinggungan, karena belum adanya
kejelasan yang pasti. Semua bentuk penolakan itu disadari oleh Pemerintah
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Muhammad Jusuf Kalla (MJK) dan dianggap
wajar, tetapi disisi lain Pemerintah harus mampu menyesuaikan semua
permasalahan dengan berbagai resiko.
Presiden merupakan pihak yang bertanggung jawab atas
semua permasalahan yang ada pada saat ini, dimana dengan kenaikan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM) yang mengejutkan mahasiswa dan semua lapisan masyarakat,
merupakan dampak negatif pada stabilitas Nasional, untuk itu pihak asing yang mempunyai
tujuan tertentu akan sangat senang menyaksikan itu, mereka bisa memanfaatkan
untuk merugikan bangsa kita. Inilah yang akan diantisipasi oleh bangsa
Indonesia. Secara umum, karena saat ini Pemerintah sibuk mengurusi kasus Bahan
Bakar Minyak (BBM).
Kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan
mengakibatkan kenaikan harga-harga kebutuhan pangan dan non pangan. Seharusnya
Pemerintah bisa menggunakan alternative yang lain dengan meningkatkan efisiensi
Pertamina. Alasan Pemerintah yang menjanjikan akan penyaluran dana kompensasi
Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk kepentingan umum ternyata tidak memiliki
kejelasan sasarannya.
Krisis ekonomi berdampak pada kemampuan anggaran
pemerintah. Maka di era reformasi mulai terasa beban subsidi Bahan Bakar Minyak
(BBM). Tetapi lebih dari itu, mulai disadari perlunya mereformasi industri
perminyakan kita untuk meningkatkan efisiensi dan fleksibilitasnya. Maka
dirumuskan suatu strategi dan untuk itu harga Bahan Bakar minyak (BBM) harus
dirasionalisasi secara bertahap.
Dalam hubungan ini pemerintah dengan persetujuan DPR,
menetapkan suatu formula penyesuaian harga secara teratur dan bertahap. Namun
ini hanya dijalankan selama kira-kira setahun. Di bulan Januari 2003, Presiden
Megawati mendapat kritikan karena menyetujui kenaikan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM). Pada waktu mengumumkannya, Presiden Megawati menyatakan bahwa keputusan
pahit itu diambil untuk kepentingan jangka panjang biarpun akan mempengaruhi
popularitasnya.
Alhasil, dalam keadaan dimana harga minyak Internasional
membumbung seperti sekarang ini beban pemerintah semakin membengkak karena
subsidi itu memang ada. Bila kita tidak mempunyai minyak sendiri dan harus
sepenuhnya membeli dari luar seperti dialami banyak negara maka selisih harga
impor dengan harga jual ke konsumen dalam negeri harus ada yang menutup.
Mengapa bila minyak itu kita miliki sendiri lalu harganya tidak boleh ditetapkan
sesuai harga pasar bukankah ini berarti bahwa milik sendiri boleh
dihambur-hamburkan. Banyak pihak memang bisa berpesta pora dengan
penghambur-hamburan ini. Subsidi minyak tanah dan Bahan Bakar Minyak (BBM) lain
yang begitu besar hanya sebagian kecil saja yang dirasakan oleh penduduk
berpendapatan rendah. Kelas menengah dan kelompok kaya jugalah yang
menikmatinya. Lebih celaka lagi, orang luar ikut menikmati karena penyelundupan
keluar semakin marak. Lalu kenapa selalu ada tantangan untuk menerapkan harga
rasional pada Bahan Bakar Minyak (BBM) jawabannya, untuk melindungi kepentingan
rakyat banyak. Ini salah kaprah yang paling besar dan yang menjerumuskan. Harga
Bahan Bakar Minyak (BBM) harus naik. Dampaknya akan ada. Argumen inflasi
dipakai untuk menentangnya. Tetapi bahaya inflasi itu arah bertahap lebih
banyak disebabkan karena formula penyesuaian harga secara itu kita.
Mahasiswa benar, bahwa kenaikan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) akan menyebabkan kenaikan berbagai kebutuhan hidup yaitu kebutuhan pangan
dan non pangan sebagaimana ditunjukkan oleh lonjakan inflasi yang cukup tinggi.
Temuan tersebut menunjukkan pentingnya kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) ini diikuti dengan kebijakan lain yang dapat mengendalikan
lonjakan inflasi yang disebabkan oleh faktor-faktor yang lain. Selain itu
program kompensasi maka program pembangunan infrastruktur di daerah pedasaan
dan perkotaan perlu mendapat prioritas pemerintah untuk meminimalisasikan
jumlah penduduk miskin akibat adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Melihat kompensasi dan pengeluaran masyarakat miskin,
maka program yang dapat disignifikasikan membantu masyarakat adalah program di
bidang pendidikan, kesehatan, pangan dan transportasi. Masalahnya ada
implementasi dari program tersebut. Selama ini program kompensasi Bahan Bakar
Minyak (BBM) dijalankan tidak efektif dan tidak menjangkau seluruh lapisan
masyarakat.
Kenaikan harga tentu akan mengakibatkan penurunan daya
beli (pendapatan riil). Dampak ini sangat bervariasi tergantung pada pola
konsumsi dan sensitifitas dari harga masing-masing komoditi terhadap kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM).